Minggu, 27 Oktober 2013

aku hingga detik ini

aku hingga detik ini



Aku tidak pernah sesedih ini ketika membuka layar handphone. Dulu, ketika melihat pesan singkatmu di ponselku, aku selalu tersenyum, dan seharian kita bertukar kabar. Namun, akhir-akhir ini, pesan singkatmu adalah hal yang selalu membuatku takut untuk melirik handphone, bentakanmu membuatku sadar, aku kehilangan dirimu yang dulu.


Ketika menyadari kamu telah berubah, setiap hari aku berusaha mengembalikan dirimu yang dulu. Mengingatkanmu pada mimpi-mimpi kita dulu, memintamu memahami bagaimana dulu kita pernah saling mencintai, mungkin. Membuatmu paham ada seseorang yang tak ingin diam ketika melihatmu tiba-tiba
jadi seseorang yang berbeda. Telah kutinggalkan semua, Sayang, pria-pria itu sesuai kemauanmu. Telah kulepaskan semua, demi kamu yang kupikir akan membahagiakanku.



Perempuan mana yang tidak kecewa melihat orang yang dia cintai tiba-tiba memilih lari dan pergi
tanpa alasan dan penjelasan? Kamu tahu aku perempuan yang dibesarkan untuk
meminta semua penjelasan dari apapun yang kualami dan terjadi. Aku tak bisa
menerima kepergianmu dan perpisahan kita seperti perempuan yang digambarkan di
banyak media, yang harus sabar menunggu, yang harus diam menanti. Aku berbeda,
Sayang, dan kuharap kaumampu memahami kerasnya sikapku ini. Apakah aku terlalu
egois untuk tahu alasanmu?


Ku kira kita saling jatuh cinta, saat percakapan tengah malam yang diselipkan dengan
beberapa kata sayang dan rindu itu terucap dari bibirmu dan bibirku; bibir
kita. Kukira kita saling jatuh cinta, saat kaubilang kau telah berubah menjadi
pria tukang gombal yang hanya untukku saja gombalan itu ketika berbicara denganku. Ku kira kita saling jatuh cinta, ketika kamu ucapkan kata sayang tanpa memberika status dan kejelasan.


Aku sudah meninggalkan semua, datang padamu, entah dengan
cara tolol agar kamu kembali. Aku menginginkan kamu yang dulu, kita yang dulu,
yang masih baik-baik saja. Apa aku salah jika aku meminta penjelasanmu atas
perubahanmu yang sampai saat ini tak bisa ku pahami? Kenapa sampai saat ini
kau masih sulit percaya pada perasaanku? Mengapa kau bilang aku mencari pelarian saat kau tak ada sebenarnya mereka semua adalah temanku? Aku sudah datang padamu, tapi
kamu tidak ingin pulang, dan kau lebih lebih asik pada orang-orang yang mungkin
tak memahamimu sedalam aku memahamimu. Aku sudah meninggalkan semua yang
kau benci, demi memintamu kembali, tapi kamu malah pergi tanpa alasan dan penjelasan.


Semoga keputusanmu bukan karena kamu selalu bilang perempuan
dengan status sosial seperti aku tak ingin menghabiskan sisa hidup dengan pria
sederhana. Berbahagialah dengan wanita pilihanmu, semoga dia memahami
sikap acuhmu, seperti aku berusaha memahami amarahmu



aku yang masih mencintaimu hingga detik ini 

Minggu, 20 Oktober 2013

kau tau rasanya jadi aku ?


kau tau rasanya jadi aku ?


Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa
menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan,
dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam,
sehingga aku memilih untuk memendam.

Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku
lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak
terjadi, pertama kali melihatmu; meskipuan aku tau suatu saat nanti kita tak bisa bersatu, seperti katamu. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.


Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku
untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kau gubris. Kamu di sampingku, tapi
getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kau rasakan. Kamu berada di
dekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu
benar tidak memikirkan aku? Apakah benar tentang wanita-wanita yang sering dibicarakan teman-temanmu ? Atau kau hanya mencintai kekasihmu, aku pelarian ? Apalagi yang kau tunggu jika
kau sudah tahu bahwa aku mencintaimu? Tapi tenang saja, aku tak minta kau membalas perasaanku.

Tak mungkin kau tak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin
tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku
hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling
ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab
kau tersenyum setiap hari, tapi bukan aku.

Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kaujujur mengenai
perasaanmu apakah kau ingin aku tinggal atau pergi. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak dihargai lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru mungkin, yang nampaknya jauh lebih bisa membuatmu nyaman, dan bahagia. Jadikanlah dia bukan hanya pelarian semata, tapi satu-satunya.


Setelah tau semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa
aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa,
meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Aku yang
terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena
akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu atau wanita lainmu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap
waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua tak usah dilanjutkan dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.


Kalau kau ingin tau bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu
mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa
dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang
tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku.
Sudahkah kau paham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada
dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu. Aku pelarianmu.

Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan
perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan
segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun....
sampai kapan aku harus terus mencoba?


Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak
mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun
tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kau tau perasaanku dan bisa membaca
keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai
tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu
pergi tanpa janji untuk pulang.


Bisakah kau bayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana
perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kau bayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari harus bertahan?


Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat
baik-baik saja?









     dari aku, pelarianmu




Senin, 07 Oktober 2013

AKU yang DIA sembunyikan


 AKU yang DIA sembunyikan





Aku tak pernah bebas mencintai dia. Dia lebih suka kucintai secara diam-diam. Dia lebih suka kucintai tanpa harus ada banyak orang yang tahu. Itulah kita, dengan kemesraan yang kami sembunyikan, dengan sapaan sayang yang tak pernah terdengar di muka umum. Seringkali, ada rasa sakit yang menyelinap secara nyata dalam “kerahasiaan” ini, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak pernah mampu melawan dia yang tetap saja mengatakan sayang meskipun aku selalu dia sembunyikan.

Kami memang terlihat seakan-akan tak memiliki hubungan khusus, kami memang seringkali terlihat seakan-akan tak punya perasaan apa-apa. Padahal, saat kami hanya berdua, perasaan itu membuncah dengan liarnya, rasa cinta itu mengalir dengan derasnya. Tak ada orang lain yang tahu bahwa kami telah bersama, karena dia selalu berpendapat bahwa suatu hubungan memang tak butuh publikasi berlebihan. Tapi, menurutku, ini bukan hanya sekadar pubikasi yang dia ceritakan, nyatanya aku benar-benar disembunyikan, nyatanya saat dia bersama teman-temannya, aku seakan-akan tak pernah ada didekatnya, aku diperlakukannya seperti orang lain. Ada rasa sakit yang sebenarnya diam-diam menyiksaku, tapi aku masih sulit memutuskan tindakan yang harus kulakukan.

Memang, di depannya aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, tapi justru tindakan itulah yang membuatku tersiksa di belakangnya. Aku memang bahagia saat bersamanya, tapi apa gunannya kalau dia hanya sanggup untuk menyembunyikanku? Aku memang merasa hangat jika dalam peluknya, tapi apa gunanya jika pelukan itu semu dan tak bisa terus menghangatkanku? Aku terpaksa menunggu dihubungi lebih dulu, jadi dia akan datang padaku ketika dia hanya membutuhkanku? Padahal aku merindukannya, padahal aku ingin menghubunginya lebih dulu.

Aku seringkali merasa bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang dia jarang memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya, padahal aku selalu menganggap dirinya penting dalam hidupku, bahwa sebagian diriku ada bersamanya. Lupakan makan malam romantis, lupakan gandengan tangan yang manis, lupakan boneka yang tersenyum dengan bengis, dia memang tak seromantis pria-pria lainnya, dia memang selalu lupa untuk memperlakukanku layaknya wanita. Mungkin, aku sudah terbiasa disakiti olehnya. Mungkin, perasaanku buta akan cinta sesungguhnya, sehingga perlakuan yang menyakitkan pun tetap kuanggap sebagai perlakuan yang membahagiakanku.

Dia bahkan tak mempertegas status kita. Seringkali aku bertanya, inikah cinta yang kucari jika dia hanya bisa menyakiti? Inikah dunia yang kuharapkan jika aku merasa frustasi?  Inikah hubungan yang akan membahagiakanku jika dia tak pernah menganggapku ada dan nyata?


Apakah ini saatnya untuk melanjutkan, atau berhenti di tengah jalan ?

 Yogyakarta, 07102013 19:59

Jumat, 04 Oktober 2013

entahlah !

Sampai kapan ?

Kenapa harus kamu?

Yang menghadirkan tanda tanya dan bisu yang menyeringai santai

Kenapa harus kamu?

Yang tiba-tiba datang lalu menyelonong masuk ke dalam pintu hatiku

Apakah tak ada orang lain selain kamu?

Yang bisa membuatku jatuh cinta hingga merasakan luka
 


Aku masih tak tahu dan tak mengerti

Kenapa harus kamu?

Yang mengisyaratkan hati untuk menyimpan perasaan ini

Kenapa harus kamu?

Yang mampu memaksa otakku agar tak berhenti memikirkanmu


 

Kenapa harus kita?

Kenapa bukan mereka?

Kenapa aku bertanya?

Kenapa kau tak pernah menjawab?

Kenapa kau tak pernah memberiku isyarat?


Aku telah melawan rasa takutku

Hanya untuk mencintaimu

Lalu, kenapa harus kamu?

Yang mampu mengubah rasa takutku menjadi sebuah keberanian kecil

Mengubah badanku yang menggigil menjadi senyum tipis walau secuil


Jangan biarkan aku terus bertanya, Sayang

Jangan biarkan aku terus mencari hal yang sebenarnya tak ada

Jangan biarkan aku terus merasakan perasaan yang sebenarnya tak kaurasakan

Jangan biarkan aku terus menunggu

Jangan biarkan waktuku terus terbuang

hanya karena kamu yang sulit kulupakan


Kenapa harus kamu?

Yang mampu membuatku melamun sepanjang waktu

Kenapa harus kamu?

Yang menjadi sebab air mataku terjatuh





Yogyakarta, 5 Oktober 2013 01:45